ABSTRACT
This paper explores how some of the current conflicts
regarding (forest) land status in the province of Lampung
This paper explores how some of the current conflicts
regarding (forest) land status in the province of Lampung
originated and evolved over time. The dramatic increase
of the population is important to note. On the other hand
there has been (and still is) a lot of confusion and
contradiction regarding the legal aspects of forest land
and private or community land status. A historical
perspective shows that deforestation is not a clear-cut story
of illegals encroaching State Forest Land.
This study presents how conflicts were generated,
simmered, exploded and are in some cases solved. We
focus on the forest categories of convertible production
forest, conservation forest (with the National Parks) and
the protection forest. In the case of the National Park the
classified area actually increased dramatically over the
years since the thirties. Some so-called encroachers do
have quite strong claims to parts of now classified State
Forest Land. In the Sumberjaya conflicts about protection
forest were particularly violent, but on the other hand
recent negotiations can be seen as pioneer for the whole
province and probably more areas in Indonesia. These
negotiations among stakeholders benefit from both the
process and the results of biophysical and policy research.
_________
Key words
forestland
: land status, conflict, negotiation, stateABSTRAK
Propinsi Lampung merupakan wilayah yang sarat dengan
konflik status penggunaan lahan yang berkaitan dengan
pengelolaan kawasan hutan. Pertumbuhan penduduk yang
pesat dan kontradiksi kebijakan tata guna lahan yang masih
membingungkan menjadi aspek penting dalam kajian ini.
Tulisan ini berisi kajian tentang hal-hal yang berkaitan
dengan konflik yang terjadi di dalam kawasan Hutan
Produksi dapat Dikonversi (HPK), Hutan Konservasi, dan
Hutan Lindung. Lokasi kajian yang dipilih adalah daerah
Sumberjaya, Kabupaten Lampung Barat dimana konflik
pernah menjurus kepada peristiwa kekerasan yang telah
menimbulkan kerugian sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Konflik yang terjadi sudah demikian rumit. Oleh karena itu,
kajian perspektif sejarah tentang perubahan status dan
penggunaan lahan juga dilengkapi dengan kegiatan
monitoring secara akurat terhadap apa yang terjadi selama
beberapa dekade terakhir.
Pada bagian akhir tulisan, kajian juga memberi porsi
sintesa terhadap upaya-upaya negosiasi yang telah
dilakukan oleh para pihak dalam memecahkan konflik.
Apalagi, negosiasi yang sedang dilakukan dapat dikatakan
sebagai salah satu aktivitas pioner upaya pemecahan
konflik yang pernah dilakukan di Indonesia.
_________
Kata kunci
hutan negara.
: status lahan, konflik, negosiasi, kawasanPENDAHULUAN
Sumberjaya
Way Besay dan merupakan daerah hulu DAS
Tulangbawang di Kabupaten Lampung Barat. Luas
wilayah Sumberjaya (termasuk DAS di dalamnya)
adalah 54,194 ha. Pada tahun 2000, jumlah penduduk
Sumberjaya tercatat sekitar 81,000 jiwa dan kurang
lebih 1/3-nya tergolong sebagai keluarga pra-sejahtera
(BKKBN Propinsi Lampung, 2001). Deforestasi yang
marak terjadi dan diikuti dengan konversi lahan
menjadi sistem tanam kopi terbuka (
secara monokultur (sering disebut sistem Semendo
oleh pemerintah, khususnya Departemen Kehutanan,
dari aspek lingkungan dipandang tidak berkelanjutan
(
menurunnya ketersediaan air di hilir sungai dan
hilangnya fungsi perlindungan DAS (Verbist et al.,
2004). Hal tersebut telah menimbulkan konflik yang
menyulut aksi kekerasan pada tahun 1991 sampai
1996.
Dalam rangka memperoleh pemahaman yang
mendalam tentang perubahan fungsi lahan tersebut dan
mengingat rumitnya permasalahan yang dihadapi,
perlu dilakukan kajian perspektif sejarah tentang
perubahan penggunaan lahan didukung dengan
kegiatan monitoring secara akurat selama beberapa
dekade terakhir. Sehubungan dengan hal tersebut,
kajian di dalam makalah ini akan difokuskan pada
aspek-aspek status tanah, konflik status lahan dan
hubungannya dengan pertumbuhan penduduk yang
ditujukan untuk memperoleh solusi-solusi yang
mungkin bisa ditempuh dalam mengelola DAS secara
partisipatif.
3- terletak di Daerah Aliran Sungai (DAS)clean weeded)4)unsustainable) dan dianggap sebagai faktor utama3
kecamatan baru, yaitu Sumberjaya dan Way Tenong.
Pada tahun 2000, Kecamatan Sumberjaya dibagi menjadi dua4
Sumberjaya
Semendo adalah sekelompok suku tertua yang saat ini tinggal di2) BAPPEDA Propinsi Lampung, Jl. Wolter Monginsidi No. 69, Teluk Betung, Bandar Lampung
21
POPULASI DAN MIGRASI
Selama berabad-abad, Propinsi Lampung menjadi
gerbang bagi pergerakan penduduk Jawa- Sumatra.
Di awal abad ke-20, program transmigrasi yang
pertama disusun oleh Pemerintah Belanda dengan
memindahkan penduduk dari Pulau Jawa yang padat
(38 juta jiwa pada tahun 1930) ke Lampung (dengan
populasi 300,000 jiwa pada tahun yang sama).
Pemerintah Indonesia melanjutkan program tersebut
sampai tahun 1980-an. Pada tahun 1986, Pemerintah
Propinsi Lampung mengumumkan bahwa wilayahnya
sudah tidak dapat lagi menampung para transmigran
dan untuk pertama kalinya Lampung mengirimkan 66
kepala keluarga sebagai transmigran ke Propinsi Jambi.
Namun, tertutupnya Propinsi Lampung sebagai
wilayah transmigrasi, tidak menjadi halangan bagi
masuknya pendatang karena letak wilayahnya yang
dekat dengan Pulau Jawa. Sejauh ini, letak geografi
Propinsi Lampung menjadikan propinsi tersebut
sebagai pintu masuk utama Pulau Sumatra bagian
Selatan. Selama 50 tahun terakhir, wilayah Lampung
seluas 33,000 km
pemanfaatan lahan akibat pembangunan. Sementara
itu, jumlah penduduk mengalami peningkatan lebih dari
10 kali lipat, yaitu dari 376,000 jiwa di tahun 1930
(Benoit,1989) menjadi lebih dari 6,7 juta jiwa di tahun
2001 (BPS Propinsi Lampung, 2001). Ditambah lagi
pada dekade terakhir, terjadi migrasi spontan secara
besar-besaran dari Jawa ke Propinsi Lampung, dan
kebanyakan dari mereka menetap di daerah berbukit
serta lereng gunung yang tanahnya cocok untuk
pertanaman kopi. Saat ini, sebagian besar lahan yang
ditempati tersebut secara resmi masuk dalam
klasifikasi Hutan Lindung ataupun Taman Nasional.
Gambar 1 menunjukkan bagaimana para transmigran
dari Jawa masuk ke Lampung melalui Teluk Betung
dan menetap di jantung wilayah Lampung. Gambar
tersebut juga menunjukkan bagaimana suku Semendo
dan Ogan masuk dari Propinsi Sumatra Selatan dan
bermigrasi ke selatan.
Menurut Benoit (1989), Suku Semendo mulai
bermigrasi ke Selatan pada tahun 1876. Mereka
menerapkan teknik pertanian keduk (
farming techniques
yang dapat mereka peroleh dari kombinasi
antara lahan tidur, tanah vulkanik yang subur yang
tertutup oleh hutan primer, dan kehadiran suku Jawa
secara besar-besaran. Setiap tahun, mereka membuka
lahan untuk dijadikan perladangan kopi setelah
sebelumnya satu atau dua tahun melakukan budidaya
secara tebang dan bakar. Mereka melakukan sendiri
pembukaan lahan, pengadaan bibit dan penanaman
kopi, serta menanam pohon pelindung (lamtoro,
2 telah mengalami perubahanexpeditive) serta memahami keuntungankeuntunganLeucaena glauca
lithosperma
(
buruh sewa (biasanya membayar buruh perempuan
suku Jawa).
Pada 100 tahun yang lalu, hampir seluruh wilayah
Sumberjaya merupakan hutan belantara. Yang pertama
kali menempati wilayah tersebut adalah Suku Semendo
dari Utara. Menurut hukum adat, suku pertama yang
menempati wilayah tersebut ditetapkan sebagai pemilik
tanah (Gambar 1). Sukaraja adalah desa pertama yang
berdiri pada tahun 1891 tempat dimana ditemukannya
komunitas marga Way Tenong yang terpisah (Huitema,
1935). Sejak tahun 1951, Biro Rekonstruksi Nasional
(BRN), suatu program transmigrasi dibawah
koordinasi Angkatan Darat, menstimulasi
perkampungan bekas tentara (terutama orang Sunda)
dari perang kemerdekaan (Kusworo, 2000). Pada tahun
1952, mantan Presiden Indonesia, Soekarno, datang
untuk meresmikan wilayah tersebut sebagai wilayah
perkampungan baru yang hingga saat ini dikenal
dengan nama Kecamatan Sumberjaya (Gambar 2) (Fay
dan Pasya, 2001).
Perkembangan terakhir, program transmigrasi
pemerintah tidak terlalu berorientasi pada wilayah
Sumberjaya, tetapi tetap saja migrasi spontan
berdatangan dari Pulau Jawa dan Bali, serta
merupakan transmigran generasi kedua dan ketiga
(Charras dan Pain 1993). Pendatang spontan yang
umumnya memiliki sifat kewirausahaan lebih tinggi
daripada para transmigran tahun 1950-an, tertarik
pada kesuburan tanahnya. Hingga saat itu, masih
banyak dasar lembah yang cukup luas untuk
digunakan. Hal tersebut dapat dilihat pada foto udara
pada tahun 1976. Pendatang-pendatang suku Jawa dan
Sunda memanfaatkan kondisi lansekap yang tidak
diminati oleh Suku Semendo tersebut untuk budidaya
kopi, dan mengubahnya menjadi pertanian sawah
beririgasi.
Cepatnya laju deforestasi menjadi kebun kopi
setelah tahun 1976, memicu keributan di Departemen
Kehutanan. Persepsi umum para aparat kehutanan
adalah bahwa penduduk setempat tidak dapat
mengelola hutan secara berkelanjutan, sehingga area
menjadi lebih cepat terdegradasi dan akan berdampak
negatif pada fungsi perlindungan DAS. Oleh karena
itu, suatu tindakan cepat untuk menghentikan evolusi
deforestasi tersebut harus dijalankan. Pemerintah
kemudian mempublikasikan peta wilayah Tata Guna
Hutan Kesepakatan (TGHK) pada tahun 1990
(Gambar 3 dan 4a) diikuti oleh pelaksanaan tatabatasnya
yang ternyata kemudian memicu banyak
konfrontasi antara penduduk lokal dengan aparat
pemerintah (Kusworo, 2000).
atau dadap, Erythrina). Tetapi untuk pembersihan gulmaweeding) dan pemeliharaan, mereka mempekerjakanVerbist dan Pasya, Perspektif Sejarah Status Kawasan Hutan, Konflik Dan Negosiasi di Sumberjaya, Lampung Barat
22
Gambar 1.
di Lampung – Jakarta 1987 (tidak dipublikasikan) dalam Benoit, 1989).
Kotak hitam menunjukkan area Sumberjaya.
Penduduk migrasi di Lampung mulai tahun 1905 sampai 1945 (Sumber: Sevin, O. Peta sejarah desadesaVerbist dan Pasya, Perspektif Sejarah Status Kawasan Hutan, Konflik Dan Negosiasi di Sumberjaya, Lampung Barat
STATUS LAHAN DAN KONFLIK
Saat Belanda mengeluarkan kampanye perdamaian
pada pertengahan abad 19, sistem Marga telah di
kan dan dikooptasi serta diganti dengan sistem
”kepala daerah”; yang juga diterapkan di Pulau Jawa.
Klaim tanah suku Lampung yang diakui hanya sejauh
6 km dari desa dan 3 km dari pemukiman sementara,
sedangkan tanah di luar rentang tersebut ditetapkan
sebagai tanah negara yang secara efektif mengurangi
kekuasaan sistem Marga. Setelah sistem tersebut gagal
(setelah 12 tahun), sistem Marga diberlakukan kembali
oleh pemerintah kolonial (walaupun dengan beberapa
perubahan). Pada tahun 1928, pemerintahan Belanda
mengabulkan status komunitas penduduk asli
(
serta menyusun kembali batas teritorial untuk tiap
marga. Pemerintah Belanda sangat tertarik pada
penggunaan struktur dan institusi tradisional untuk
alasan lain, yaitu pengumpulan pajak. Departemen
Kehutanan Belanda (
dengan golongan elite suku Lampung untuk
mendapatkan pajak dari orang yang membuka lahan.
Pada tahun 1933, pelayanan perluasan pertanian
Kolonial menyatakan: “Sebagaimana Lampung tidak
lagi memiliki hutan yang berlimpah, menciptakan
manfaat ekonomi dari lahan yang tersedia tanpa harus
menghambat pengembangan budidaya kopi lokal
ilegal-inlandsche gemeente) sebagai Marga Lampung,Boschwezen) bekerja sama23
Verbist dan Pasya, Perspektif Sejarah Status Kawasan Hutan, Konflik Dan Negosiasi di Sumberjaya, Lampung Barat
Gambar 2.
membuka Sumberjaya sebagai
perkampungan baru pada tanggal 14
November 1952.
sangatlah penting”. Hal tersebut tidak hanya
merekomendasikan upaya peremajaan kebun kopi
yang sudah ada dengan pemangkasan, tetapi juga
menarik kembali keberadaan peraturan marga yang
menganjurkan menanam kopi dengan tanaman
naungan.
Pada akhir Perang Dunia II, Pemerintahan
Indonesia yang baru merdeka meniadakan sistem
marga dan melakukan nasionalisasi seluruh tanah
marga yang dianggap tidak definitif tanpa
dibudidayakan. Hal, yang sering membingungkan
adalah dualisme sistem penguasaan dan kepemilikan
tanah terutama tentang keberadaan tanah adat
terhadap tanah ’negara’
tahun 1960. Masyarakat marga diperbolehkan
memiliki hak ulayat (
tanah tersebut tidak selalu terdaftar/didaftar secara
resmi oleh pemerintah. Sementara itu, pemerintah
kolonial memberlakukan sistem registrasi dan
kepemilikan tanah untuk tempat tinggal dan
perkebunan.
Hukum Dasar Agraria tahun 1960 (UU/5/1960)
mengakhiri dualisme tersebut dan memberikan
kekuasaan penuh kepada pemerintahan Indonesia
untuk menentukan dan mengatur hak-hak atas tanah,
transfer (pemindah-tanganan status) tanah, serta
menggunakan dan mencadangkan tanah bagi
kepentingan nasional. Bidang tanah yang tidak lagi
dimanfaatkan oleh komunitas adat dianggap sebagai
tanah negara (dikenal dengan istilah tanah negara
bebas) dan penguasaannya beralih dari marga ke
negara. Ini berarti, penduduk marga di Lampung
kehilangan sebagian besar hak tanahnya yang pernah
disusun oleh Pemerintah Belanda. Walaupun sejak saat
itu hingga sekarang terdapat Hukum Dasar Agraria
Tahun 1960, pelaksanaan peraturan yang masih lemah
dan tidak tersedianya alternatif pengaturan terhadap
dampak yang muncul, mengakibatkan ketidakpastian
sistem pertanahan secara operasional di tingkat lapang.
Sebagai contoh, ketiadaan penegakan peraturan di
tingkat pelaksanaan tersebut berakibat menjamurnya
pembukaan lahan dan pemukiman spontan (Elmhirst,
1997).
Antara tahun 1960-2000, banyak kawasan hutan
yang dikonversi tidak hanya oleh pendatang spontan,
tetapi juga oleh perkebunan milik swasta dan
pemerintah dalam skala yang besar. Hal tersebut sering
menyulut terjadinya konflik. Bahkan sejak era
reformasi, konflik penggunaan dan status lahan makin
sering muncul ke permukaan. Di satu sisi sektor swasta
dapat memiliki hak-hak pemanfaatan lahan (misalnya
Hak Guna Lahan, Hak Pengusahaan Lahan, Hak Guna
Bangunan, dan lain-lain) dan merupakan aspek positif
dari Hukum Agraria, di sisi lain, beberapa komunitas
lokal mendukung Hukum Adat (misalnya
Hak Marga,
acapkali persinggungan kepentingan antara kedua pihak
tersebut menjadi wilayah konflik yang paling sering
terjadi. Tabel 1 menunjukkan jumlah kasus konflik
pertanahan di Propinsi Lampung yang terjadi selama
tahun 1999-2000 (TIM KKR-PSDAL Propinsi
Lampung, 2003).
Berdasarkan Dinas Kehutanan Propinsi, 42% dari
kasus konflik tanah tersebut terjadi pada lahan hutan
negara dan tanah marga. (Sebagai informasi penting
lainnya, Tabel 2 dan Gambar 4b memberi gambaran
tentang status hutan di Lampung saat ini. Pada paragraf
selanjutnya, akan didiskusikan lebih detail tentang
kawasan hutan produksi dapat dikonversi, hutan
lindung dan hutan konservasi.)
Mantan Presiden, Soekarno datang untuk5 yang berlangsung hinggausufruct right) atas tanah, tetapiHak Ulayat,dan Hak Kekerabatan). Permasalahannya,Hutan Produksi dapat Dikonversi (HPK)
Pada tahun 2000, Menteri Kehutanan mengeluarkan
Surat Keputusan No. 256/Kpts-II/2000 untuk
penunjukan ulang (redeliniasi) kawasan HPK seluas
153,459 ha (Tabel 2) sebagaimana terdapat di dalam
TGHK. Sekitar 8,333 ha (5%) darinya dijadikan
kawasan Hutan Konservasi (sebagai sabuk hijau
(
liar, muara, zona gajah liar) dan kawasan Hutan
Lindung, sementara sisanya 145,125 ha (95%) yang
secara
ulang sebagai wilayah perkampungan dan lahan
pertanian.
Proses penunjukan ulang kawasan HPK, diikuti
green belt) daerah pesisir, rawa-rawa untuk habitatde facto telah diduduki oleh manusia ditunjuk5
Pengertian negara disini adalah negara yang seringkali ditafsirkan secara oleh distribusi dan administrasi pertanahan bagisempit identik dengan penguasa/pemerintah.
24
Verbist dan Pasya, Perspektif Sejarah Status Kawasan Hutan, Konflik Dan Negosiasi di Sumberjaya, Lampung Barat
sebanyak 127,236 orang yang tersebar pada 6
kabupaten, yaitu: Lampung Utara, Lampung Timur,
Lampung Tengah, Tanggamus, Way Kanan, dan
Lampung Barat.
Di bawah Perda No. 6/2001
pertanahan dilaksanakan melalui proses ajudifikasi dan
sertifikasi. Sebenarnya, Perda tersebut merupakan
bagian dari rangkaian panjang suatu proses negosiasi
perbaikan kebijakan pertanahan di Lampung. Inisiatif
reformasi pertanahan tersebut termuat di dalam
kebijakan Pemda Propinsi Lampung tentang ’
untuk Rakyat
di dalam 3 dokumen resmi: (1) Pidato politik Gubernur
yang disampaikan di depan Anggota DPRD yang baru,
1999; (2) Rencana Strategi Pembangunan Daerah
Lampung 2000-2005; dan (3) Pola Dasar
Pembangunan Daerah Propinsi Lampung 2000-2005.
Semua kawasan yang sebelumnya ditunjuk sebagai
kawasan HPK sekarang dapat dikatakan secara resmi
dikonversi.
6, administrasiTanah’. Paling tidak kebijakan tersebut tertuangTabel 1
tahun 1999-2002.
. Kasus-kasus konflik tanah di Lampung6
penelitian bersama tentang Respon Sosial dari Komunitas Lokal
Terhadap Proses Penunjukkan Ulang Kawasan HPK (Studi kasus:
Lampung Barat) dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah
sebagai bahan pertimbangan perumusan Perda.
Pada tahun 2001, ICRAF dan Universitas Lampung mengadakanKasus konflik yang
terselesaikan
Tahun Jumlah Kasus
Konflik
Pertanahan
(Yang tercatat)
Jumlah Persen
1999 260 71 27
2000 260 201 39
2001 327 240 73
2002 327 249 76
Gambar 3.
penduduk Sunda dan Jawa sejak tahun 1949 (Benoit, 1989).
Kotak hitam menunjukkan area Sumberjaya.
Perkampungan lama Suku Semendo pada tahun 1920-1930 dan desa-desa gelombang kedua dari25
Verbist dan Pasya, Perspektif Sejarah Status Kawasan Hutan, Konflik Dan Negosiasi di Sumberjaya, Lampung Barat
Taman Nasional (Kawasan Konservasi)
Wilayah Barat Daya Kecamatan Sumberjaya,
khususnya Desa Trimulyo, diklasifikasikan sebagai
Taman Nasional Barisan Selatan yang dicanangkan
pada tahun 1935 sebagai Suaka Margasatwa (
van de Gouverneur-Generaal van Nederlandsch Indie
N
nama Sumatera Selatan Satu. Status kawasan tersebut
kemudian ditetapkan sebagai Kawasan Pelestarian
Alam (suatu area yang ditujukan untuk menjadi Taman
Nasional) pada tanggal 1 April 1979 (De Wulf
al.
Dengan membandingkan peta tahun 1999 dengan
tahun 1939, semakin jelas terlihat bagaimana areal
Taman Nasional meningkat secara drastis (Gambar
4). Fay
TGHK yang ditetapkan melalui Surat Keputusan
Menteri No. 67/1991, kawasan tersebut mencakup
wilayah desa dan damar agroforestri (
Damar
bahwa di pesisir Krui terdapat 29.000 ha
Damar
administrasi Belanda tidak diklasifikasikan sebagai
kawasan hutan, berubah status menjadi Taman
Nasional. Padahal, kebanyakan dari
Besluit0 48 Staatschblad 1935 N0 62 – 24.12.1935), denganet,1981).et al. (2000) menyatakan bahwa berdasarkanRepong). Hasil perhitungan tahun 1998 menunjukkanRepongdan penggunaan lahan lainnya yang selamaRepong Damartersebut sudah dikelola hingga kini selama lebih dari
100 tahun oleh komunitas adat setempat. Ditambah
dengan yang berada di luar kawasan Taman Nasional,
total luas
44,000 ha yang lagi-lagi di masa administrasi Belanda
diakui namun belum ditetapkan sebagai tanah
masyarakat adat di Pesisir Krui. Kedua kasus
Damar
tersebut terjadi di bagian Barat Taman Nasional Bukit
Barisan.
Repong Damar di pesisir Krui mencapaiRepongdi dalam Taman Nasional dan tanah margaTabel 2
. Perubahan Rencana Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) di Lampung pada Tahun 1997-2000Sumber
No Rencana Tata Guna Hutan 1997
(Ha)
1998
(Ha)
1999
(Ha)
2000
(Ha)
1. Hutan Lindung 336.100 336.100
2. Hutan Konservasi 422.500 422.500 422.500 462.030
3. Hutan Produksi Terbatas 44.120 44.120 44.120 33.358
4. Hutan Produksi Tetap 281.089 281.089 192.902 191.732
5. Hutan Produksi Dapat Dikonversi 153.459 153.459 153.459 -
Jumlah 1.237.268 1.237.268 1.164.512 1.004.735
: Dinas Kehutanan Propinsi Lampung, 2002351.531 317.615Gambar 4.
dipetakan antara tahun 1935 dan 1938. b) Rencana penggunaan hutan pada tahun 1999, yang
dipetakan antara tahun 1980 dan 1990, tetapi batas-batasnya sering hanya berdasarkan batasbatas
pada jaman Belanda.
Kotak hitam menunjukkan area Sumberjaya pada kedua gambar.
a) Peta area hutan di Lampung Barat tahun didigitalisasi oleh “Boschareaalkaart”, 1939, yang26
Hutan Lindung
Sebagian besar wilayah Sumberjaya lebih
diklasifikasikan sebagai kawasan Hutan Lindung (HL)
dan hanya sebagian kecil yang merupakan kawasan
Taman Nasional. Konflik antara petani setempat
dengan Departemen Kehutanan semakin meluas
disebabkan oleh lebarnya perbedaan persepsi tentang
kelestarian dan perubahan fungsi DAS di wilayah
tersebut. Menurut Departemen Kehutanan, konversi
hutan di kawasan lindung berdampak besar terhadap
perlindungan fungsi DAS Way Besay di Sumberjaya.
Apalagi di DAS tersebut terdapat Pembangkit Listrik
Tenaga Air (PLTA) Way Besay yang saat ini
konstruksinya telah selesai. Persepsi Departemen
Kehutanan tersebut memberi justifikasi yang cukup
untuk mempertahankan 50% dari luas wilayah
kecamatan untuk tetap dijadikan sebagai kawasan
Hutan Lindung. Pada Gambar 4, terlihat jelas bahwa
batas kawasan hutan yang ada tidak berubah dari
waktu ke waktu. Bagaimanapun juga, sejak sistem
administrasi Belanda ditinggalkan, masih banyak
penduduk lokal dan pendatang yang membangun
pemukiman dan bertani di kawasan tersebut (Fay
al.
hektar misalnya, menurut Bupati Lampung Barat
hanya sekitar 25% yang masih berupa hutan asli,
sisanya dihuni oleh hampir 2000 kk yang berkebun
kopi dan dianggap sebagai sumber utama sedimentasi
di sungai Way Besay.
Saat penyusunan TGHK dinyatakan selesai dan
ditetapkan pada tahun 1990 (Gambar 2), kemudian
diikuti dengan penetapan tata batas yang
pelaksanaannya memicu banyak konfrontasi antara
penduduk lokal dengan aparat pemerintah yang
didukung oleh militer untuk melakukan penggusuran
(Operasi Tanggamus tahun 1990 – 1991, Operasi
Jagawana tahun 1995, Translok tahun 1996) guna
‘melindungi hutan’ di Sumberjaya (Kusworo, 2000).
Peta TGHK yang telah dibuat tanpa konsultasi dengan
penduduk lokal terkait, pada kenyataannya
memperlihatkan bahwa batas-batas kawasan hutan
yang pernah ditetapkan di masa Belanda pada tahun
1939 secara praktik telah dihapuskan sejak
kemerdekaan. Bahkan di beberapa tempat, penetapan
kawasan hutan di dalam peta TGHK tahun 1990 juga
dilakukan terhadap wilayah desa definitif yang secara
legal telah diperoleh penduduk pada masa
pemerintahan Sukarno di tahun 1950-an (Kusworo,
2000). Perundangan dan penegakan hukum yang
semula dilihat sebagai alat untuk mempertahankan
kawasan lindung pada akhirnya justru semakin
mempercepat laju deforestasi.
Berlakunya tata batas baru di dalam TGHK,
membuat sebagian masyarakat setempat dianggap
sebagai ‘kriminal’. Hal tersebut menimbulkan konflik
dan bahkan mendorong lebih jauh terjadinya
deforestasi. Walaupun seluas 6000 ha lahan diklaim
telah dihutankan kembali oleh pemerintah sejak tahun
1990 (Kusworo, 2000), tidak ada sebidangpun yang
dapat dibuktikan melalui citra satelit tahun 1997, 1999
dan 2000.
Dampak lain dari konflik status lahan adalah
terbentuknya padang alang-alang (
cylindrica
wilayah yang sering terjadi kebakaran hutan. Pada
tahun 1997 dan 2000, rata-rata luas blok wilayah
kebakaran hutan tersebut yaitu lebih dari 80 ha
(Suyanto
memperjelas bahwa lahan yang berada dalam status
konflik akut tidak akan dapat dilindungi dari
kebakaran. Dampak pengusiran penduduk dengan
kekerasan di tahun 1990-an dan konflik-konflik status
lahan yang terjadi secara harafiah meninggalkan
kerusakan lansekap yang amat serius. Departemen
Kehutanan saat ini mengakui bahwa pendekatan
“tangan besi” (
memberikan hasil.
et, 2000). Hutan Lindung Bukit Rigis seluas 8.265Imperata) yang tumbuh dengan subur dan menjadiet al., 2000). Hal tersebut semakinheavy handed) tidak pernahNEGOSIASI PENGGUNAAN LAHAN DI
KAWASAN HUTAN DI SUMBERJAYA
Sebagaimana negosiasi yang berlangsung pada kasus
status tanah di Taman Nasional di Pesisir Krui dan
pelepasan kawasan HPK di Lampung pada umumnya,
saat ini negosiasi serupa juga sedang berlangsung di
Sumberjaya. Runtuhnya sistem kekuasaan terpusat
selama reformasi setelah Suharto turun tahun 1998,
membuat tindakan refresif di masa lalu tidak layak
lagi untuk dilanjutkan. Oleh karena itu, upaya baru
dengan negosiasi dan skim Hutan Kemasyarakatan
(HKm) dilaksanakan.
Kelompok petani dapat memperoleh ijin untuk
mengelola kawasan hutan selama 25 tahun, dengan 5
tahun masa percobaan berdasarkan dua kondisi, yaitu:
(1) melakukan perlindungan terhadap hutan yang
tersisa dan (2) menanam pohon di kebun kopi mereka.
Hal yang masih belum jelas adalah kriteria apa yang
akan dipakai untuk mengevaluasi setelah masa
percobaan 5 tahun berjalan. Masih ada banyak diskusi
antara kelompok petani dan aparat kehutanan
mengenai pohon apa saja yang sesuai dan berapa
banyak yang harus ditanam untuk menyeimbangkan
tujuan ekonomi dan tujuan konservasi. Rendahnya
harga kopi diharapkan dapat mendorong semangat
petani untuk mengambil kesempatan tersebut dengan
menanam lebih banyak pohon untuk meningkatkan
kepastian
sistem tanam kopi yang lebih menguntungkan.
Pada tahun 2000, ICRAF dan Watala secara
kolaboratif memfasilitasi negosiasi pemanfaatan hutan
dimana skim HKm dipergunakan sebagai pintu masuk
bagi resolusi konflik
12 kelompok HKm (dengan sekitar 1035 petani sebagai
land tenure dan mengekplorasi alternatifalternatifland tenure di Sumberjaya. DariVerbist dan Pasya, Perspektif Sejarah Status Kawasan Hutan, Konflik Dan Negosiasi di Sumberjaya, Lampung Barat
27
Verbist dan Pasya, Perspektif Sejarah Status Kawasan Hutan, Konflik Dan Negosiasi di Sumberjaya, Lampung Barat
menganjurkan bahwa selain secara ekonomis
menguntungkan, lansekap mosaik dengan kombinasi
berbagai sistem tanam kopi, hamparan sawah, dan lajur
tanaman/pepohonan di sepanjang bantaran sungai
(
baik daripada hanya hutan sebagai penyedia fungsi
DAS baik bagi masyarakat dan pengelola PLTA.
riparian strips) tidak selalu buruk atau bahkan lebihKESIMPULAN
Kajian perspektif sejarah dalam tulisan ini
mengklarifikasi bahwa konflik status dan penggunaan
lahan kawasan yang terjadi di masa lalu bukan
merupakan sejarah hitam dan putih tentang penduduk
perambah hutan, tetapi lebih sebagai suatu sejarah
yang kelabu. Bukti peta Taman Nasional yang
terdahulu (sebelum TGHK) menunjukkan pihak mana
yang sebenarnya melanggar tata batas. Pada kasus
penelitian tentang hubungan antara fungsi hutan
lindung terhadap perlindungan DAS, diperlukan
klarifikasi lebih jauh apa yang memang benar-benar
merupakan kenyataan atau yang hanya persepsi
semata.
Memang diakui bahwa proses negosiasi
berlangsung lambat. Sejauh ini, baru tiga kelompok
petani HKm yang ’dapat’ mengelola sekitar 700 ha
kawasan Hutan Lindung dan telah memiliki
pemecahan bagi pembatasan kembali kawasan HPK
memakan waktu bertahun-tahun. Namun demikian,
catatan terpenting dalam kajian ini adalah, dengan
adanya peralihan kekuasaan melalui otonomi daerah,
situasi kebijakan pemerintah di daerah saat ini jauh
lebih kondusif daripada saat sebelum reformasi
terutama dalam rangka mengakhiri konflik melalui
negosiasi, dimana para pihak berkepentingan dapat
saling berdampingan antara satu dengan lainnya untuk
merajut kepentingan bersama (
anggotanya), tiga kelompok diantaranya telah
memperoleh Izin HKm Sementara yang berlaku selama
5 tahun dan ditetapkan oleh Bupati Lampung Barat.
Mereka merupakan kelompok HKm pertama yang
diizinkan oleh seorang Bupati di Indonesia dibawah
SK Menteri Kehutanan No. 31/Kpts-II/2001 tentang
HKm (Tabel 3) yang prosesnya dilaksanakan secara
partisipatif.
Desentralisasi kekuasaan kepada pemerintah
Kabupaten yang berevolusi secara positif mendorong
program HKm di bawah paradigma Pengelolaan Hutan
Berbasis Masyarakat (PHBM) ditingkatkan oleh
pemerintah Kabupaten Lampung Barat menjadi
Pengelolaan Lingkungan dan Sumberdaya Alam
Berbasis Masyarakat
Environmental and Natural Resources Management
CBENRM) yang dituangkan ke dalam bentuk
Raperda (Rancangan Peraturan Daerah) melalui
mekanisme konsultasi publik dengan keterlibatan multi
pihak dan berbagai unit teknis pemerintah lainnya
seperti dinas pertanian, perikanan, perternakan, dan
sebagainya. Pada saat ini, Dinas Kehutanan dan SDA
Lampung Barat berkolaborasi dengan ICRAF,
WATALA dan masyarakat menyusun Kriteria dan
Indikator Evaluasi HKm secara partisipasif untuk
memberikan kepastian hukum bagi kelompok tani
HKm.
Para petani pada dasarnya memiliki pengetahuan
yang baik tentang fungsi hutan bagi DAS, seperti
peningkatan kualitas air dan penurunan resiko banjir
dan longsor (Schalenbourg, 2002). Fungsi DAS yang
terpenting bagi penduduk setempat adalah bagaimana
menjaga sumber serta meningkatkan ketersediaan air
yang bermutu baik untuk keperluan domestik.
Persepsi petani saat ini, dengan 10% areal hutan
masih mampu memberikan perlindungan fungsi DAS
yang diharapkan. Penelitian awal oleh ICRAF
Areal kelola HKm(Ha)
Kelompok/Tanggal Izin Desa Jumlah
Petani (kk)
common interests).(Community Based/Areal
perlindungan
Sistem
Kopi Total
Abung Marga Laksana /Juni
2002
Simpang Sari 73 82,9 177,9 260,8
Gunung Sari/
Agustus 2002
Simpang Sari 145 90 169 259
Rigis Jaya/Juni 2002 Gunung terang 74 128,2 75,7 203,9
Total: 292 301,1 422,6 723,7
Tabel 3
. Kelompok HKm di Sumberjaya yang mendapat izin selama 5 tahun (hingga Januari 2003).28
Ucapan Terima kasih
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Diah
Wulandari dan Rina Amalia dari ICRAF atas
bantuannya dalam menterjemahkan makalah ini ke
dalam Bahasa Indonesia dan kepada Atiek Widayati
dan Danan Hadi Prasetyo dari ICRAF atas digitalisasi
dan me-lay out peta.
DAFTAR PUSTAKA
Benoit, D. 1989. Migration and Structure of Population.
Transmigration and Spontaneous Migration in
Indonesia: Propinsi Lampung. M. Pain, D. Benoit,
P. Levang and O. Sevin. Bonty, ORSTOM.
BKKBN Provinsi Lampung. 2001. Tabulasi Data
Keluarga Sejahtera dan Pra-Sejahtera Propinsi
Lampung; Sensus BKKBN Tahun 2000.
BPS Provinsi Lampung. 2001. Lampung Dalam
Angka. Bandar Lampung.
Charras, M. dan M. Pain. 1993. Spontaneous
Settlements in Indonesia: Agricultural Pioneers in
Southern Sumatra. Jakarta: Departement of
Transmigration and Bondy, France: ORSTOM.
De Wulf, R.; Supomo, D. dan K. Rauf. 1981. Barisan
Selatan Game Reserve Management Plan 1982-
1987. Bogor, UNDP/ FAO National Parks
Development Project
Dinas Kehutanan Propinsi Lampung. 2002. Studi
Fasilitasi NGO Dalam Kegiatan HKm di Lampung
Barat. Bandar Lampung.
Elmhirst, R. 1997. Gender, Environment and Culture:
A Political Ecology of Transmigration in
Indonesia. London, Wye College, University of
London.
Fay, C. dan G. Pasya. 2001. Sistem Pendukung
Negosiasi (Spn); Suatu Pendekatan Untuk
Penyelesaian Masalah Konflik Di Kawasan
Hutan. Makalah. International Center For
Research on Agroforestry (ICRAF) – SE Asia.
Bogor.
Fay, C.; Sirait, M. dan A. Kusworo. 2000. Getting
the Boundaries Right Indonesia’s Urgent Need to
Redefine its Forest Estate. Bogor, International
Centre for Research in Agroforestry
Huitema, W.K. 1935. De bevolkingskoffiecultuur op
Sumatra. Tropische Landbouw. Wageningen,
Landbouwhogeschool
Kusworo, A. 2000. Perambah Hutan atau Kambing
Hitam? Potret Sengketa Kawasan Hutan di
Lampung. Bogor, Pustaka Latin.
Schalenbourg, W. 2002. An Assessment of Farmers’
Perceptions of Soil and Watershed Functions in
Sumberjaya, Sumatra, Indonesia. Bogor, ICRAF
: 48.: 14.: 238.:146.
Suyanto, S.; Dennis, R.; Kurniawan, I.; Stolle, F.;
Maus, P. dan G. Applegate. 2000. The Underlying
Causes and Impacts of fires in Southeast Asia;
Site 1. Sekincau, Lampung Province, Indonesia.
Bogor, ICRAF-SEA
TIM KKR-PSDAL Provinsi Lampung. 2003. Studi
Tindak Pembaikan Kebijakan Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan Propinsi
Lampung. Pemerintah Propinsi Lampung - World
Agroforestry Center - DFID. Final Study Report.
Bandar Lampung.
Verbist, B.J.P.; Ekadinata, A.P. dan S. Budidarsono.
2004. “Penyebab alih guna lahan dan akibatnya
terhadap fungsi daerah aliran sungai (DAS) pada
lansekap agroforestri berbasis kopi di Sumatra).”
Agrivita 26 (1): 29-38.
: 34.Verbist dan Pasya, Perspektif Sejarah Status Kawasan Hutan, Konflik Dan Negosiasi di Sumberjaya, Lampung Baratoriginated and evolved over time. The dramatic increase
of the population is important to note. On the other hand
there has been (and still is) a lot of confusion and
contradiction regarding the legal aspects of forest land
and private or community land status. A historical
perspective shows that deforestation is not a clear-cut story
of illegals encroaching State Forest Land.
This study presents how conflicts were generated,
simmered, exploded and are in some cases solved. We
focus on the forest categories of convertible production
forest, conservation forest (with the National Parks) and
the protection forest. In the case of the National Park the
classified area actually increased dramatically over the
years since the thirties. Some so-called encroachers do
have quite strong claims to parts of now classified State
Forest Land. In the Sumberjaya conflicts about protection
forest were particularly violent, but on the other hand
recent negotiations can be seen as pioneer for the whole
province and probably more areas in Indonesia. These
negotiations among stakeholders benefit from both the
process and the results of biophysical and policy research.
ABSTRACT
_________
Key words
forestland
: land status, conflict, negotiation, stateABSTRAK
Propinsi Lampung merupakan wilayah yang sarat dengan
konflik status penggunaan lahan yang berkaitan dengan
pengelolaan kawasan hutan. Pertumbuhan penduduk yang
pesat dan kontradiksi kebijakan tata guna lahan yang masih
membingungkan menjadi aspek penting dalam kajian ini.
Tulisan ini berisi kajian tentang hal-hal yang berkaitan
dengan konflik yang terjadi di dalam kawasan Hutan
Produksi dapat Dikonversi (HPK), Hutan Konservasi, dan
Hutan Lindung. Lokasi kajian yang dipilih adalah daerah
Sumberjaya, Kabupaten Lampung Barat dimana konflik
pernah menjurus kepada peristiwa kekerasan yang telah
menimbulkan kerugian sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Konflik yang terjadi sudah demikian rumit. Oleh karena itu,
kajian perspektif sejarah tentang perubahan status dan
penggunaan lahan juga dilengkapi dengan kegiatan
monitoring secara akurat terhadap apa yang terjadi selama
beberapa dekade terakhir.
Pada bagian akhir tulisan, kajian juga memberi porsi
sintesa terhadap upaya-upaya negosiasi yang telah
dilakukan oleh para pihak dalam memecahkan konflik.
Apalagi, negosiasi yang sedang dilakukan dapat dikatakan
sebagai salah satu aktivitas pioner upaya pemecahan
konflik yang pernah dilakukan di Indonesia.
_________
Kata kunci
hutan negara.
: status lahan, konflik, negosiasi, kawasanPENDAHULUAN
Sumberjaya
Way Besay dan merupakan daerah hulu DAS
Tulangbawang di Kabupaten Lampung Barat. Luas
wilayah Sumberjaya (termasuk DAS di dalamnya)
adalah 54,194 ha. Pada tahun 2000, jumlah penduduk
Sumberjaya tercatat sekitar 81,000 jiwa dan kurang
lebih 1/3-nya tergolong sebagai keluarga pra-sejahtera
(BKKBN Propinsi Lampung, 2001). Deforestasi yang
marak terjadi dan diikuti dengan konversi lahan
menjadi sistem tanam kopi terbuka (
secara monokultur (sering disebut sistem Semendo
oleh pemerintah, khususnya Departemen Kehutanan,
dari aspek lingkungan dipandang tidak berkelanjutan
(
menurunnya ketersediaan air di hilir sungai dan
hilangnya fungsi perlindungan DAS (Verbist et al.,
2004). Hal tersebut telah menimbulkan konflik yang
menyulut aksi kekerasan pada tahun 1991 sampai
1996.
Dalam rangka memperoleh pemahaman yang
mendalam tentang perubahan fungsi lahan tersebut dan
mengingat rumitnya permasalahan yang dihadapi,
perlu dilakukan kajian perspektif sejarah tentang
perubahan penggunaan lahan didukung dengan
kegiatan monitoring secara akurat selama beberapa
dekade terakhir. Sehubungan dengan hal tersebut,
kajian di dalam makalah ini akan difokuskan pada
aspek-aspek status tanah, konflik status lahan dan
hubungannya dengan pertumbuhan penduduk yang
ditujukan untuk memperoleh solusi-solusi yang
mungkin bisa ditempuh dalam mengelola DAS secara
partisipatif.
3- terletak di Daerah Aliran Sungai (DAS)clean weeded)4)unsustainable) dan dianggap sebagai faktor utama3
kecamatan baru, yaitu Sumberjaya dan Way Tenong.
Pada tahun 2000, Kecamatan Sumberjaya dibagi menjadi dua4
Sumberjaya
Semendo adalah sekelompok suku tertua yang saat ini tinggal di2) BAPPEDA Propinsi Lampung, Jl. Wolter Monginsidi No. 69, Teluk Betung, Bandar Lampung
21
POPULASI DAN MIGRASI
Selama berabad-abad, Propinsi Lampung menjadi
gerbang bagi pergerakan penduduk Jawa- Sumatra.
Di awal abad ke-20, program transmigrasi yang
pertama disusun oleh Pemerintah Belanda dengan
memindahkan penduduk dari Pulau Jawa yang padat
(38 juta jiwa pada tahun 1930) ke Lampung (dengan
populasi 300,000 jiwa pada tahun yang sama).
Pemerintah Indonesia melanjutkan program tersebut
sampai tahun 1980-an. Pada tahun 1986, Pemerintah
Propinsi Lampung mengumumkan bahwa wilayahnya
sudah tidak dapat lagi menampung para transmigran
dan untuk pertama kalinya Lampung mengirimkan 66
kepala keluarga sebagai transmigran ke Propinsi Jambi.
Namun, tertutupnya Propinsi Lampung sebagai
wilayah transmigrasi, tidak menjadi halangan bagi
masuknya pendatang karena letak wilayahnya yang
dekat dengan Pulau Jawa. Sejauh ini, letak geografi
Propinsi Lampung menjadikan propinsi tersebut
sebagai pintu masuk utama Pulau Sumatra bagian
Selatan. Selama 50 tahun terakhir, wilayah Lampung
seluas 33,000 km
pemanfaatan lahan akibat pembangunan. Sementara
itu, jumlah penduduk mengalami peningkatan lebih dari
10 kali lipat, yaitu dari 376,000 jiwa di tahun 1930
(Benoit,1989) menjadi lebih dari 6,7 juta jiwa di tahun
2001 (BPS Propinsi Lampung, 2001). Ditambah lagi
pada dekade terakhir, terjadi migrasi spontan secara
besar-besaran dari Jawa ke Propinsi Lampung, dan
kebanyakan dari mereka menetap di daerah berbukit
serta lereng gunung yang tanahnya cocok untuk
pertanaman kopi. Saat ini, sebagian besar lahan yang
ditempati tersebut secara resmi masuk dalam
klasifikasi Hutan Lindung ataupun Taman Nasional.
Gambar 1 menunjukkan bagaimana para transmigran
dari Jawa masuk ke Lampung melalui Teluk Betung
dan menetap di jantung wilayah Lampung. Gambar
tersebut juga menunjukkan bagaimana suku Semendo
dan Ogan masuk dari Propinsi Sumatra Selatan dan
bermigrasi ke selatan.
Menurut Benoit (1989), Suku Semendo mulai
bermigrasi ke Selatan pada tahun 1876. Mereka
menerapkan teknik pertanian keduk (
farming techniques
yang dapat mereka peroleh dari kombinasi
antara lahan tidur, tanah vulkanik yang subur yang
tertutup oleh hutan primer, dan kehadiran suku Jawa
secara besar-besaran. Setiap tahun, mereka membuka
lahan untuk dijadikan perladangan kopi setelah
sebelumnya satu atau dua tahun melakukan budidaya
secara tebang dan bakar. Mereka melakukan sendiri
pembukaan lahan, pengadaan bibit dan penanaman
kopi, serta menanam pohon pelindung (lamtoro,
2 telah mengalami perubahanexpeditive) serta memahami keuntungankeuntunganLeucaena glauca
lithosperma
(
buruh sewa (biasanya membayar buruh perempuan
suku Jawa).
Pada 100 tahun yang lalu, hampir seluruh wilayah
Sumberjaya merupakan hutan belantara. Yang pertama
kali menempati wilayah tersebut adalah Suku Semendo
dari Utara. Menurut hukum adat, suku pertama yang
menempati wilayah tersebut ditetapkan sebagai pemilik
tanah (Gambar 1). Sukaraja adalah desa pertama yang
berdiri pada tahun 1891 tempat dimana ditemukannya
komunitas marga Way Tenong yang terpisah (Huitema,
1935). Sejak tahun 1951, Biro Rekonstruksi Nasional
(BRN), suatu program transmigrasi dibawah
koordinasi Angkatan Darat, menstimulasi
perkampungan bekas tentara (terutama orang Sunda)
dari perang kemerdekaan (Kusworo, 2000). Pada tahun
1952, mantan Presiden Indonesia, Soekarno, datang
untuk meresmikan wilayah tersebut sebagai wilayah
perkampungan baru yang hingga saat ini dikenal
dengan nama Kecamatan Sumberjaya (Gambar 2) (Fay
dan Pasya, 2001).
Perkembangan terakhir, program transmigrasi
pemerintah tidak terlalu berorientasi pada wilayah
Sumberjaya, tetapi tetap saja migrasi spontan
berdatangan dari Pulau Jawa dan Bali, serta
merupakan transmigran generasi kedua dan ketiga
(Charras dan Pain 1993). Pendatang spontan yang
umumnya memiliki sifat kewirausahaan lebih tinggi
daripada para transmigran tahun 1950-an, tertarik
pada kesuburan tanahnya. Hingga saat itu, masih
banyak dasar lembah yang cukup luas untuk
digunakan. Hal tersebut dapat dilihat pada foto udara
pada tahun 1976. Pendatang-pendatang suku Jawa dan
Sunda memanfaatkan kondisi lansekap yang tidak
diminati oleh Suku Semendo tersebut untuk budidaya
kopi, dan mengubahnya menjadi pertanian sawah
beririgasi.
Cepatnya laju deforestasi menjadi kebun kopi
setelah tahun 1976, memicu keributan di Departemen
Kehutanan. Persepsi umum para aparat kehutanan
adalah bahwa penduduk setempat tidak dapat
mengelola hutan secara berkelanjutan, sehingga area
menjadi lebih cepat terdegradasi dan akan berdampak
negatif pada fungsi perlindungan DAS. Oleh karena
itu, suatu tindakan cepat untuk menghentikan evolusi
deforestasi tersebut harus dijalankan. Pemerintah
kemudian mempublikasikan peta wilayah Tata Guna
Hutan Kesepakatan (TGHK) pada tahun 1990
(Gambar 3 dan 4a) diikuti oleh pelaksanaan tatabatasnya
yang ternyata kemudian memicu banyak
konfrontasi antara penduduk lokal dengan aparat
pemerintah (Kusworo, 2000).
atau dadap, Erythrina). Tetapi untuk pembersihan gulmaweeding) dan pemeliharaan, mereka mempekerjakanVerbist dan Pasya, Perspektif Sejarah Status Kawasan Hutan, Konflik Dan Negosiasi di Sumberjaya, Lampung Barat
22
Gambar 1.
di Lampung – Jakarta 1987 (tidak dipublikasikan) dalam Benoit, 1989).
Kotak hitam menunjukkan area Sumberjaya.
Penduduk migrasi di Lampung mulai tahun 1905 sampai 1945 (Sumber: Sevin, O. Peta sejarah desadesaVerbist dan Pasya, Perspektif Sejarah Status Kawasan Hutan, Konflik Dan Negosiasi di Sumberjaya, Lampung Barat
STATUS LAHAN DAN KONFLIK
Saat Belanda mengeluarkan kampanye perdamaian
pada pertengahan abad 19, sistem Marga telah di
kan dan dikooptasi serta diganti dengan sistem
”kepala daerah”; yang juga diterapkan di Pulau Jawa.
Klaim tanah suku Lampung yang diakui hanya sejauh
6 km dari desa dan 3 km dari pemukiman sementara,
sedangkan tanah di luar rentang tersebut ditetapkan
sebagai tanah negara yang secara efektif mengurangi
kekuasaan sistem Marga. Setelah sistem tersebut gagal
(setelah 12 tahun), sistem Marga diberlakukan kembali
oleh pemerintah kolonial (walaupun dengan beberapa
perubahan). Pada tahun 1928, pemerintahan Belanda
mengabulkan status komunitas penduduk asli
(
serta menyusun kembali batas teritorial untuk tiap
marga. Pemerintah Belanda sangat tertarik pada
penggunaan struktur dan institusi tradisional untuk
alasan lain, yaitu pengumpulan pajak. Departemen
Kehutanan Belanda (
dengan golongan elite suku Lampung untuk
mendapatkan pajak dari orang yang membuka lahan.
Pada tahun 1933, pelayanan perluasan pertanian
Kolonial menyatakan: “Sebagaimana Lampung tidak
lagi memiliki hutan yang berlimpah, menciptakan
manfaat ekonomi dari lahan yang tersedia tanpa harus
menghambat pengembangan budidaya kopi lokal
ilegal-inlandsche gemeente) sebagai Marga Lampung,Boschwezen) bekerja sama23
Verbist dan Pasya, Perspektif Sejarah Status Kawasan Hutan, Konflik Dan Negosiasi di Sumberjaya, Lampung Barat
Gambar 2.
membuka Sumberjaya sebagai
perkampungan baru pada tanggal 14
November 1952.
sangatlah penting”. Hal tersebut tidak hanya
merekomendasikan upaya peremajaan kebun kopi
yang sudah ada dengan pemangkasan, tetapi juga
menarik kembali keberadaan peraturan marga yang
menganjurkan menanam kopi dengan tanaman
naungan.
Pada akhir Perang Dunia II, Pemerintahan
Indonesia yang baru merdeka meniadakan sistem
marga dan melakukan nasionalisasi seluruh tanah
marga yang dianggap tidak definitif tanpa
dibudidayakan. Hal, yang sering membingungkan
adalah dualisme sistem penguasaan dan kepemilikan
tanah terutama tentang keberadaan tanah adat
terhadap tanah ’negara’
tahun 1960. Masyarakat marga diperbolehkan
memiliki hak ulayat (
tanah tersebut tidak selalu terdaftar/didaftar secara
resmi oleh pemerintah. Sementara itu, pemerintah
kolonial memberlakukan sistem registrasi dan
kepemilikan tanah untuk tempat tinggal dan
perkebunan.
Hukum Dasar Agraria tahun 1960 (UU/5/1960)
mengakhiri dualisme tersebut dan memberikan
kekuasaan penuh kepada pemerintahan Indonesia
untuk menentukan dan mengatur hak-hak atas tanah,
transfer (pemindah-tanganan status) tanah, serta
menggunakan dan mencadangkan tanah bagi
kepentingan nasional. Bidang tanah yang tidak lagi
dimanfaatkan oleh komunitas adat dianggap sebagai
tanah negara (dikenal dengan istilah tanah negara
bebas) dan penguasaannya beralih dari marga ke
negara. Ini berarti, penduduk marga di Lampung
kehilangan sebagian besar hak tanahnya yang pernah
disusun oleh Pemerintah Belanda. Walaupun sejak saat
itu hingga sekarang terdapat Hukum Dasar Agraria
Tahun 1960, pelaksanaan peraturan yang masih lemah
dan tidak tersedianya alternatif pengaturan terhadap
dampak yang muncul, mengakibatkan ketidakpastian
sistem pertanahan secara operasional di tingkat lapang.
Sebagai contoh, ketiadaan penegakan peraturan di
tingkat pelaksanaan tersebut berakibat menjamurnya
pembukaan lahan dan pemukiman spontan (Elmhirst,
1997).
Antara tahun 1960-2000, banyak kawasan hutan
yang dikonversi tidak hanya oleh pendatang spontan,
tetapi juga oleh perkebunan milik swasta dan
pemerintah dalam skala yang besar. Hal tersebut sering
menyulut terjadinya konflik. Bahkan sejak era
reformasi, konflik penggunaan dan status lahan makin
sering muncul ke permukaan. Di satu sisi sektor swasta
dapat memiliki hak-hak pemanfaatan lahan (misalnya
Hak Guna Lahan, Hak Pengusahaan Lahan, Hak Guna
Bangunan, dan lain-lain) dan merupakan aspek positif
dari Hukum Agraria, di sisi lain, beberapa komunitas
lokal mendukung Hukum Adat (misalnya
Hak Marga,
acapkali persinggungan kepentingan antara kedua pihak
tersebut menjadi wilayah konflik yang paling sering
terjadi. Tabel 1 menunjukkan jumlah kasus konflik
pertanahan di Propinsi Lampung yang terjadi selama
tahun 1999-2000 (TIM KKR-PSDAL Propinsi
Lampung, 2003).
Berdasarkan Dinas Kehutanan Propinsi, 42% dari
kasus konflik tanah tersebut terjadi pada lahan hutan
negara dan tanah marga. (Sebagai informasi penting
lainnya, Tabel 2 dan Gambar 4b memberi gambaran
tentang status hutan di Lampung saat ini. Pada paragraf
selanjutnya, akan didiskusikan lebih detail tentang
kawasan hutan produksi dapat dikonversi, hutan
lindung dan hutan konservasi.)
Mantan Presiden, Soekarno datang untuk5 yang berlangsung hinggausufruct right) atas tanah, tetapiHak Ulayat,dan Hak Kekerabatan). Permasalahannya,Hutan Produksi dapat Dikonversi (HPK)
Pada tahun 2000, Menteri Kehutanan mengeluarkan
Surat Keputusan No. 256/Kpts-II/2000 untuk
penunjukan ulang (redeliniasi) kawasan HPK seluas
153,459 ha (Tabel 2) sebagaimana terdapat di dalam
TGHK. Sekitar 8,333 ha (5%) darinya dijadikan
kawasan Hutan Konservasi (sebagai sabuk hijau
(
liar, muara, zona gajah liar) dan kawasan Hutan
Lindung, sementara sisanya 145,125 ha (95%) yang
secara
ulang sebagai wilayah perkampungan dan lahan
pertanian.
Proses penunjukan ulang kawasan HPK, diikuti
green belt) daerah pesisir, rawa-rawa untuk habitatde facto telah diduduki oleh manusia ditunjuk5
Pengertian negara disini adalah negara yang seringkali ditafsirkan secara oleh distribusi dan administrasi pertanahan bagisempit identik dengan penguasa/pemerintah.
24
Verbist dan Pasya, Perspektif Sejarah Status Kawasan Hutan, Konflik Dan Negosiasi di Sumberjaya, Lampung Barat
sebanyak 127,236 orang yang tersebar pada 6
kabupaten, yaitu: Lampung Utara, Lampung Timur,
Lampung Tengah, Tanggamus, Way Kanan, dan
Lampung Barat.
Di bawah Perda No. 6/2001
pertanahan dilaksanakan melalui proses ajudifikasi dan
sertifikasi. Sebenarnya, Perda tersebut merupakan
bagian dari rangkaian panjang suatu proses negosiasi
perbaikan kebijakan pertanahan di Lampung. Inisiatif
reformasi pertanahan tersebut termuat di dalam
kebijakan Pemda Propinsi Lampung tentang ’
untuk Rakyat
di dalam 3 dokumen resmi: (1) Pidato politik Gubernur
yang disampaikan di depan Anggota DPRD yang baru,
1999; (2) Rencana Strategi Pembangunan Daerah
Lampung 2000-2005; dan (3) Pola Dasar
Pembangunan Daerah Propinsi Lampung 2000-2005.
Semua kawasan yang sebelumnya ditunjuk sebagai
kawasan HPK sekarang dapat dikatakan secara resmi
dikonversi.
6, administrasiTanah’. Paling tidak kebijakan tersebut tertuangTabel 1
tahun 1999-2002.
. Kasus-kasus konflik tanah di Lampung6
penelitian bersama tentang Respon Sosial dari Komunitas Lokal
Terhadap Proses Penunjukkan Ulang Kawasan HPK (Studi kasus:
Lampung Barat) dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah
sebagai bahan pertimbangan perumusan Perda.
Pada tahun 2001, ICRAF dan Universitas Lampung mengadakanKasus konflik yang
terselesaikan
Tahun Jumlah Kasus
Konflik
Pertanahan
(Yang tercatat)
Jumlah Persen
1999 260 71 27
2000 260 201 39
2001 327 240 73
2002 327 249 76
Gambar 3.
penduduk Sunda dan Jawa sejak tahun 1949 (Benoit, 1989).
Kotak hitam menunjukkan area Sumberjaya.
Perkampungan lama Suku Semendo pada tahun 1920-1930 dan desa-desa gelombang kedua dari25
Verbist dan Pasya, Perspektif Sejarah Status Kawasan Hutan, Konflik Dan Negosiasi di Sumberjaya, Lampung Barat
Taman Nasional (Kawasan Konservasi)
Wilayah Barat Daya Kecamatan Sumberjaya,
khususnya Desa Trimulyo, diklasifikasikan sebagai
Taman Nasional Barisan Selatan yang dicanangkan
pada tahun 1935 sebagai Suaka Margasatwa (
van de Gouverneur-Generaal van Nederlandsch Indie
N
nama Sumatera Selatan Satu. Status kawasan tersebut
kemudian ditetapkan sebagai Kawasan Pelestarian
Alam (suatu area yang ditujukan untuk menjadi Taman
Nasional) pada tanggal 1 April 1979 (De Wulf
al.
Dengan membandingkan peta tahun 1999 dengan
tahun 1939, semakin jelas terlihat bagaimana areal
Taman Nasional meningkat secara drastis (Gambar
4). Fay
TGHK yang ditetapkan melalui Surat Keputusan
Menteri No. 67/1991, kawasan tersebut mencakup
wilayah desa dan damar agroforestri (
Damar
bahwa di pesisir Krui terdapat 29.000 ha
Damar
administrasi Belanda tidak diklasifikasikan sebagai
kawasan hutan, berubah status menjadi Taman
Nasional. Padahal, kebanyakan dari
Besluit0 48 Staatschblad 1935 N0 62 – 24.12.1935), denganet,1981).et al. (2000) menyatakan bahwa berdasarkanRepong). Hasil perhitungan tahun 1998 menunjukkanRepongdan penggunaan lahan lainnya yang selamaRepong Damartersebut sudah dikelola hingga kini selama lebih dari
100 tahun oleh komunitas adat setempat. Ditambah
dengan yang berada di luar kawasan Taman Nasional,
total luas
44,000 ha yang lagi-lagi di masa administrasi Belanda
diakui namun belum ditetapkan sebagai tanah
masyarakat adat di Pesisir Krui. Kedua kasus
Damar
tersebut terjadi di bagian Barat Taman Nasional Bukit
Barisan.
Repong Damar di pesisir Krui mencapaiRepongdi dalam Taman Nasional dan tanah margaTabel 2
. Perubahan Rencana Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) di Lampung pada Tahun 1997-2000Sumber
No Rencana Tata Guna Hutan 1997
(Ha)
1998
(Ha)
1999
(Ha)
2000
(Ha)
1. Hutan Lindung 336.100 336.100
2. Hutan Konservasi 422.500 422.500 422.500 462.030
3. Hutan Produksi Terbatas 44.120 44.120 44.120 33.358
4. Hutan Produksi Tetap 281.089 281.089 192.902 191.732
5. Hutan Produksi Dapat Dikonversi 153.459 153.459 153.459 -
Jumlah 1.237.268 1.237.268 1.164.512 1.004.735
: Dinas Kehutanan Propinsi Lampung, 2002351.531 317.615Gambar 4.
dipetakan antara tahun 1935 dan 1938. b) Rencana penggunaan hutan pada tahun 1999, yang
dipetakan antara tahun 1980 dan 1990, tetapi batas-batasnya sering hanya berdasarkan batasbatas
pada jaman Belanda.
Kotak hitam menunjukkan area Sumberjaya pada kedua gambar.
a) Peta area hutan di Lampung Barat tahun didigitalisasi oleh “Boschareaalkaart”, 1939, yang26
Hutan Lindung
Sebagian besar wilayah Sumberjaya lebih
diklasifikasikan sebagai kawasan Hutan Lindung (HL)
dan hanya sebagian kecil yang merupakan kawasan
Taman Nasional. Konflik antara petani setempat
dengan Departemen Kehutanan semakin meluas
disebabkan oleh lebarnya perbedaan persepsi tentang
kelestarian dan perubahan fungsi DAS di wilayah
tersebut. Menurut Departemen Kehutanan, konversi
hutan di kawasan lindung berdampak besar terhadap
perlindungan fungsi DAS Way Besay di Sumberjaya.
Apalagi di DAS tersebut terdapat Pembangkit Listrik
Tenaga Air (PLTA) Way Besay yang saat ini
konstruksinya telah selesai. Persepsi Departemen
Kehutanan tersebut memberi justifikasi yang cukup
untuk mempertahankan 50% dari luas wilayah
kecamatan untuk tetap dijadikan sebagai kawasan
Hutan Lindung. Pada Gambar 4, terlihat jelas bahwa
batas kawasan hutan yang ada tidak berubah dari
waktu ke waktu. Bagaimanapun juga, sejak sistem
administrasi Belanda ditinggalkan, masih banyak
penduduk lokal dan pendatang yang membangun
pemukiman dan bertani di kawasan tersebut (Fay
al.
hektar misalnya, menurut Bupati Lampung Barat
hanya sekitar 25% yang masih berupa hutan asli,
sisanya dihuni oleh hampir 2000 kk yang berkebun
kopi dan dianggap sebagai sumber utama sedimentasi
di sungai Way Besay.
Saat penyusunan TGHK dinyatakan selesai dan
ditetapkan pada tahun 1990 (Gambar 2), kemudian
diikuti dengan penetapan tata batas yang
pelaksanaannya memicu banyak konfrontasi antara
penduduk lokal dengan aparat pemerintah yang
didukung oleh militer untuk melakukan penggusuran
(Operasi Tanggamus tahun 1990 – 1991, Operasi
Jagawana tahun 1995, Translok tahun 1996) guna
‘melindungi hutan’ di Sumberjaya (Kusworo, 2000).
Peta TGHK yang telah dibuat tanpa konsultasi dengan
penduduk lokal terkait, pada kenyataannya
memperlihatkan bahwa batas-batas kawasan hutan
yang pernah ditetapkan di masa Belanda pada tahun
1939 secara praktik telah dihapuskan sejak
kemerdekaan. Bahkan di beberapa tempat, penetapan
kawasan hutan di dalam peta TGHK tahun 1990 juga
dilakukan terhadap wilayah desa definitif yang secara
legal telah diperoleh penduduk pada masa
pemerintahan Sukarno di tahun 1950-an (Kusworo,
2000). Perundangan dan penegakan hukum yang
semula dilihat sebagai alat untuk mempertahankan
kawasan lindung pada akhirnya justru semakin
mempercepat laju deforestasi.
Berlakunya tata batas baru di dalam TGHK,
membuat sebagian masyarakat setempat dianggap
sebagai ‘kriminal’. Hal tersebut menimbulkan konflik
dan bahkan mendorong lebih jauh terjadinya
deforestasi. Walaupun seluas 6000 ha lahan diklaim
telah dihutankan kembali oleh pemerintah sejak tahun
1990 (Kusworo, 2000), tidak ada sebidangpun yang
dapat dibuktikan melalui citra satelit tahun 1997, 1999
dan 2000.
Dampak lain dari konflik status lahan adalah
terbentuknya padang alang-alang (
cylindrica
wilayah yang sering terjadi kebakaran hutan. Pada
tahun 1997 dan 2000, rata-rata luas blok wilayah
kebakaran hutan tersebut yaitu lebih dari 80 ha
(Suyanto
memperjelas bahwa lahan yang berada dalam status
konflik akut tidak akan dapat dilindungi dari
kebakaran. Dampak pengusiran penduduk dengan
kekerasan di tahun 1990-an dan konflik-konflik status
lahan yang terjadi secara harafiah meninggalkan
kerusakan lansekap yang amat serius. Departemen
Kehutanan saat ini mengakui bahwa pendekatan
“tangan besi” (
memberikan hasil.
et, 2000). Hutan Lindung Bukit Rigis seluas 8.265Imperata) yang tumbuh dengan subur dan menjadiet al., 2000). Hal tersebut semakinheavy handed) tidak pernahNEGOSIASI PENGGUNAAN LAHAN DI
KAWASAN HUTAN DI SUMBERJAYA
Sebagaimana negosiasi yang berlangsung pada kasus
status tanah di Taman Nasional di Pesisir Krui dan
pelepasan kawasan HPK di Lampung pada umumnya,
saat ini negosiasi serupa juga sedang berlangsung di
Sumberjaya. Runtuhnya sistem kekuasaan terpusat
selama reformasi setelah Suharto turun tahun 1998,
membuat tindakan refresif di masa lalu tidak layak
lagi untuk dilanjutkan. Oleh karena itu, upaya baru
dengan negosiasi dan skim Hutan Kemasyarakatan
(HKm) dilaksanakan.
Kelompok petani dapat memperoleh ijin untuk
mengelola kawasan hutan selama 25 tahun, dengan 5
tahun masa percobaan berdasarkan dua kondisi, yaitu:
(1) melakukan perlindungan terhadap hutan yang
tersisa dan (2) menanam pohon di kebun kopi mereka.
Hal yang masih belum jelas adalah kriteria apa yang
akan dipakai untuk mengevaluasi setelah masa
percobaan 5 tahun berjalan. Masih ada banyak diskusi
antara kelompok petani dan aparat kehutanan
mengenai pohon apa saja yang sesuai dan berapa
banyak yang harus ditanam untuk menyeimbangkan
tujuan ekonomi dan tujuan konservasi. Rendahnya
harga kopi diharapkan dapat mendorong semangat
petani untuk mengambil kesempatan tersebut dengan
menanam lebih banyak pohon untuk meningkatkan
kepastian
sistem tanam kopi yang lebih menguntungkan.
Pada tahun 2000, ICRAF dan Watala secara
kolaboratif memfasilitasi negosiasi pemanfaatan hutan
dimana skim HKm dipergunakan sebagai pintu masuk
bagi resolusi konflik
12 kelompok HKm (dengan sekitar 1035 petani sebagai
land tenure dan mengekplorasi alternatifalternatifland tenure di Sumberjaya. DariVerbist dan Pasya, Perspektif Sejarah Status Kawasan Hutan, Konflik Dan Negosiasi di Sumberjaya, Lampung Barat
27
Verbist dan Pasya, Perspektif Sejarah Status Kawasan Hutan, Konflik Dan Negosiasi di Sumberjaya, Lampung Barat
menganjurkan bahwa selain secara ekonomis
menguntungkan, lansekap mosaik dengan kombinasi
berbagai sistem tanam kopi, hamparan sawah, dan lajur
tanaman/pepohonan di sepanjang bantaran sungai
(
baik daripada hanya hutan sebagai penyedia fungsi
DAS baik bagi masyarakat dan pengelola PLTA.
riparian strips) tidak selalu buruk atau bahkan lebihKESIMPULAN
Kajian perspektif sejarah dalam tulisan ini
mengklarifikasi bahwa konflik status dan penggunaan
lahan kawasan yang terjadi di masa lalu bukan
merupakan sejarah hitam dan putih tentang penduduk
perambah hutan, tetapi lebih sebagai suatu sejarah
yang kelabu. Bukti peta Taman Nasional yang
terdahulu (sebelum TGHK) menunjukkan pihak mana
yang sebenarnya melanggar tata batas. Pada kasus
penelitian tentang hubungan antara fungsi hutan
lindung terhadap perlindungan DAS, diperlukan
klarifikasi lebih jauh apa yang memang benar-benar
merupakan kenyataan atau yang hanya persepsi
semata.
Memang diakui bahwa proses negosiasi
berlangsung lambat. Sejauh ini, baru tiga kelompok
petani HKm yang ’dapat’ mengelola sekitar 700 ha
kawasan Hutan Lindung dan telah memiliki
pemecahan bagi pembatasan kembali kawasan HPK
memakan waktu bertahun-tahun. Namun demikian,
catatan terpenting dalam kajian ini adalah, dengan
adanya peralihan kekuasaan melalui otonomi daerah,
situasi kebijakan pemerintah di daerah saat ini jauh
lebih kondusif daripada saat sebelum reformasi
terutama dalam rangka mengakhiri konflik melalui
negosiasi, dimana para pihak berkepentingan dapat
saling berdampingan antara satu dengan lainnya untuk
merajut kepentingan bersama (
anggotanya), tiga kelompok diantaranya telah
memperoleh Izin HKm Sementara yang berlaku selama
5 tahun dan ditetapkan oleh Bupati Lampung Barat.
Mereka merupakan kelompok HKm pertama yang
diizinkan oleh seorang Bupati di Indonesia dibawah
SK Menteri Kehutanan No. 31/Kpts-II/2001 tentang
HKm (Tabel 3) yang prosesnya dilaksanakan secara
partisipatif.
Desentralisasi kekuasaan kepada pemerintah
Kabupaten yang berevolusi secara positif mendorong
program HKm di bawah paradigma Pengelolaan Hutan
Berbasis Masyarakat (PHBM) ditingkatkan oleh
pemerintah Kabupaten Lampung Barat menjadi
Pengelolaan Lingkungan dan Sumberdaya Alam
Berbasis Masyarakat
Environmental and Natural Resources Management
CBENRM) yang dituangkan ke dalam bentuk
Raperda (Rancangan Peraturan Daerah) melalui
mekanisme konsultasi publik dengan keterlibatan multi
pihak dan berbagai unit teknis pemerintah lainnya
seperti dinas pertanian, perikanan, perternakan, dan
sebagainya. Pada saat ini, Dinas Kehutanan dan SDA
Lampung Barat berkolaborasi dengan ICRAF,
WATALA dan masyarakat menyusun Kriteria dan
Indikator Evaluasi HKm secara partisipasif untuk
memberikan kepastian hukum bagi kelompok tani
HKm.
Para petani pada dasarnya memiliki pengetahuan
yang baik tentang fungsi hutan bagi DAS, seperti
peningkatan kualitas air dan penurunan resiko banjir
dan longsor (Schalenbourg, 2002). Fungsi DAS yang
terpenting bagi penduduk setempat adalah bagaimana
menjaga sumber serta meningkatkan ketersediaan air
yang bermutu baik untuk keperluan domestik.
Persepsi petani saat ini, dengan 10% areal hutan
masih mampu memberikan perlindungan fungsi DAS
yang diharapkan. Penelitian awal oleh ICRAF
Areal kelola HKm(Ha)
Kelompok/Tanggal Izin Desa Jumlah
Petani (kk)
common interests).(Community Based/Areal
perlindungan
Sistem
Kopi Total
Abung Marga Laksana /Juni
2002
Simpang Sari 73 82,9 177,9 260,8
Gunung Sari/
Agustus 2002
Simpang Sari 145 90 169 259
Rigis Jaya/Juni 2002 Gunung terang 74 128,2 75,7 203,9
Total: 292 301,1 422,6 723,7
Tabel 3
. Kelompok HKm di Sumberjaya yang mendapat izin selama 5 tahun (hingga Januari 2003).28
Ucapan Terima kasih
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Diah
Wulandari dan Rina Amalia dari ICRAF atas
bantuannya dalam menterjemahkan makalah ini ke
dalam Bahasa Indonesia dan kepada Atiek Widayati
dan Danan Hadi Prasetyo dari ICRAF atas digitalisasi
dan me-lay out peta.
DAFTAR PUSTAKA
Benoit, D. 1989. Migration and Structure of Population.
Transmigration and Spontaneous Migration in
Indonesia: Propinsi Lampung. M. Pain, D. Benoit,
P. Levang and O. Sevin. Bonty, ORSTOM.
BKKBN Provinsi Lampung. 2001. Tabulasi Data
Keluarga Sejahtera dan Pra-Sejahtera Propinsi
Lampung; Sensus BKKBN Tahun 2000.
BPS Provinsi Lampung. 2001. Lampung Dalam
Angka. Bandar Lampung.
Charras, M. dan M. Pain. 1993. Spontaneous
Settlements in Indonesia: Agricultural Pioneers in
Southern Sumatra. Jakarta: Departement of
Transmigration and Bondy, France: ORSTOM.
De Wulf, R.; Supomo, D. dan K. Rauf. 1981. Barisan
Selatan Game Reserve Management Plan 1982-
1987. Bogor, UNDP/ FAO National Parks
Development Project
Dinas Kehutanan Propinsi Lampung. 2002. Studi
Fasilitasi NGO Dalam Kegiatan HKm di Lampung
Barat. Bandar Lampung.
Elmhirst, R. 1997. Gender, Environment and Culture:
A Political Ecology of Transmigration in
Indonesia. London, Wye College, University of
London.
Fay, C. dan G. Pasya. 2001. Sistem Pendukung
Negosiasi (Spn); Suatu Pendekatan Untuk
Penyelesaian Masalah Konflik Di Kawasan
Hutan. Makalah. International Center For
Research on Agroforestry (ICRAF) – SE Asia.
Bogor.
Fay, C.; Sirait, M. dan A. Kusworo. 2000. Getting
the Boundaries Right Indonesia’s Urgent Need to
Redefine its Forest Estate. Bogor, International
Centre for Research in Agroforestry
Huitema, W.K. 1935. De bevolkingskoffiecultuur op
Sumatra. Tropische Landbouw. Wageningen,
Landbouwhogeschool
Kusworo, A. 2000. Perambah Hutan atau Kambing
Hitam? Potret Sengketa Kawasan Hutan di
Lampung. Bogor, Pustaka Latin.
Schalenbourg, W. 2002. An Assessment of Farmers’
Perceptions of Soil and Watershed Functions in
Sumberjaya, Sumatra, Indonesia. Bogor, ICRAF
: 48.: 14.: 238.:146.
Suyanto, S.; Dennis, R.; Kurniawan, I.; Stolle, F.;
Maus, P. dan G. Applegate. 2000. The Underlying
Causes and Impacts of fires in Southeast Asia;
Site 1. Sekincau, Lampung Province, Indonesia.
Bogor, ICRAF-SEA
TIM KKR-PSDAL Provinsi Lampung. 2003. Studi
Tindak Pembaikan Kebijakan Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan Propinsi
Lampung. Pemerintah Propinsi Lampung - World
Agroforestry Center - DFID. Final Study Report.
Bandar Lampung.
Verbist, B.J.P.; Ekadinata, A.P. dan S. Budidarsono.
2004. “Penyebab alih guna lahan dan akibatnya
terhadap fungsi daerah aliran sungai (DAS) pada
lansekap agroforestri berbasis kopi di Sumatra).”
Agrivita 26 (1): 29-38.
: 34.Verbist dan Pasya, Perspektif Sejarah Status Kawasan Hutan, Konflik Dan Negosiasi di Sumberjaya, Lampung Barat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar